Rabu, 30 September 2015

Kisah Salim Kancil, Penolak Tambang: Disetrum, Dia Tak Mati

Polisi menetapkan 18 tersangka pembunuhan dan penganiayaan Salim alias Kancil, 52 tahun, dan Tosan, 51 tahun, warga Desa Selok Awar-awar, Kecamatan Pasirian, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur, pada 26 September lalu.

Salim dan Tosan mendapat perlakuan keji dari sekitar puluhan orang, diduga terkait dengan aktivitas keduanya yang menolak keberadaan tambang pasir di desa tersebut. Salim Kancil bahkan sempat diestrum dan dipukuli sebelum akhirnya dihabisi di dekat makam.

“Sampai saat ini kami laporkan sudah mengamankan dan menetapkan 18 orang tersangka," kata Kepala Kepolisian Resor Lumajang Ajun Komisaris Besar Fadly Munzir Ismail, Selasa, 28 September. Menurut Fadly, jumlah itu masih mungkin bertambah mengingat sehari sebelumnya ada dua orang yang ditangkap dan 34 lainnya menyerahkan diri. Di antara tersangka tersebut tidak termasuk kepala desa, yang disebut-sebut berperan mengumpulkan puluhan orang itu.

Menurut Fadly, polisi telah menangkap otak dan penggerak penganiayaan. "Di antara 18 orang yang kami amankan, ada otak dan penggeraknya," katanya. Fadly tidak menyebutkan siapa otak dan penggerak penganiayaan dan pembunuhan tersebut.

Adapun untuk mereka yang sudah ditetapkan sebagai tersangka, Fadly menambahkan, “Masing-masing mempunyai peran yang berbeda, dari mengajak, memerintahkan, memukul, melempar, dan menyetrum korban.”

Jaringan Pegiat Anti-Tambang di Kabupaten Lumajang sebelumnya mengungkapkan Salim, yang bersama Tosan menjadi pengurus Forum Komunikasi Masyarakat Peduli Pesisir di Desa Selok Awar-awar disetrum di balai desa.

Adapun Tosan mengalami penganiayaan di rumah dan di tanah lapang yang tak jauh dari rumahnya. Selain dipukuli dengan kayu, pacul, batu, dan celurit, tubuhnya sempat dilindas sepeda motor. "Saya tahu dan mengenal pelaku pengeroyokan," kata Ati Hariati, istri Tosan, saat menjaga suaminya di Rumah Sakit Saiful Anwar Malang.

Ati mengakui bahwa suaminya aktif menggerakkan forum komunikasi warga yang menolak tambang pasir yang beroperasi sejak Februari lalu tersebut. Alasannya, izin pariwisata digunakan sebagai kedok penambangan itu yang menyebabkan pantai bolong-bolong serta jalan desa rusak karena dilalui truk-truk.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar